Manusia terbagi ke dalam dua kelompok dalam hal keyakinan. Manusia yang mengakui adanya tuhan dan ada yang tidak mengakui adanya tuhan. Mereka yang mayoritas adalah yang mengakui adanya tuhan, yaitu keyakinan terhadap suatu kekuatan serba Maha diluar dirinya yang mengontrol seluruh kehidupan. Mereka meyakini bahwa semua yang ada merupakan bagian dari apa yang ditetapkan, mereka meyakini adanya dunia lain selain bumi, yaitu dunia yang dulu pernah di singgahi dan nanti akan disinggahi lagi, itulah dunia ruh. Raga merupakan konsekuensi yang ada karena keharusan ruh itu untuk turun ke bumi.
Ruh itu ada dan memiliki waktu yang lama, sedangkan raga waktunya terbatas ia tidak bisa bertahan untuk waktu yang lama, oleh karena itu sel-sel tubuhnya akan mengalami penuaan dan akhirnya mati secara sistematis sampai jantungnya terhenti. Saat raga tidak mampu lagi bertahan, tiba waktunya ruh untuk keluar dan pergi menuju ke dunianya. Lihatlah cermin, Anda akan menemukan bahwa Anda semakin tua, mungkin bagi Anda yang berumur 20’an Anda merasa sedang segar-segarnya kulit Anda kencang dan tenaga Anda kuat. Tapi tidakkah terasa kalau rasanya baru kemarin kita memakai celana pendek merah yang disabuk hitam, kemeja putih dan dasi merah kemudian memakai topi berwarna merah. Tinggi tubuh kita tidak lebih dari 1 meter, berat badan kita tidak lebih dari 30 kg. Tapi sekarang terasa cepat sekali tahu-tahu sudah besar, hingga suatu saat nanti kalau kita tidak sadar kita akan berkata seperti itu lagi, “loh kok tidak terasa sudah 40 tahun, sudah 50 tahun, sudah 60 tahun ” maukah suatu saat nanti kita tidak sadar kalau waktu hidup kita sudah berakhir, sampai tidak ada waktu untuk berkata “loh ko…”.
Sudah seharusnya kita menyadari bahwa kita bukanlah mahluk bumi, kita adalah mahluk langit yang mendapatkan takdir untuk menjalani serangkaian ketetapan di dunia dan karena berdeda dimensi, untuk hidup di dunia kita harus memiliki wujud yaitu tubuh yang kita miliki sekarang. Ada hal yang aneh ketika kita lupa akan siapa sesungguhnya diri kita, dari mana kita dan akan kemana kita.
Kita merasa bahwa kita seutuhnya adalah tubuh ini, kita sesungguhnya adalah mahluk bumi yang butuh makan, rumah, dan pemenuhan kebutuhan sex semata. Kita lupa bahwa diri kita adalah mahluk langit yang suatu saat harus kembali ke sana. Kita lupa bahwa kita hamba yang memiliki Tuhan, alangkah bingungnya suatu saat nanti jika sang budak sekian lama pergi dari tuannya, kemudian perbekalannya habis dan tidak punya pilihan lain selain kembali pada tuannya, kalimat apa yang bisa disiapkan membela diri sedang tuannya tahu apa yang sudah dilakukan sang budak. Kesalahan kita adalah kita lebih banyak tahu makanan yang mengenyangkan perut ketimbang tasbih yang menenangkan jiwa; kita lebih tahu tempat yang membuat lupa pada tuhan, ketimbang tempat yang mengingatkan kita akan jati diri sebagai hamba; kita lebih tertarik pada buku-buku karangan manusia, ketimbang buku karya tuhan. Kalau di Tanya kita jawab, saya percaya adanya tuhan, tapi sering perilaku kita tidak menunjukan bahwa kita seperti tidak percaya adanya surga dan neraka.
Kadang berbicara seperti ini terasa aneh dan terlalu jauh, apa lagi kalau bertemu dengan anak muda yang sok, “mungpung lagi muda nikmati hidup, nanti sudah tuamah ga bisa kayak gini” kalau hal itu di utarakan oleh anak belum baligh mungkin masih bisa ditolerir tapi bagaimana mungkin hal itu bisa dikatakan oleh orang dewasa atau orang yang katanya ingin dianggap dewasa. Bukan juga bermaksud hidup itu harus ngaji saja, sholat saja, di masjid saja, bukan melarang untuk makan, bukan melarang untuk memenuhi kebutuhan sex. Tapi coba kita pahami bahwa setiap mahluk tuhan memiliki kewajibannya masing-masing, malaikat tidak wajib untuk tidur karena tidak diamanahi tubuh, tapi kita punya kewajiban tidur karena itu untuk memenuhi jatah tubuh, termasuk makan dan minum juga sex. Tapi kadang kita menggunakan alasan ini secara berlebihan dan akhirnya membuat kita benar-benar fokus pada pemenuhan kebutuhan tubuh seperti hewan, makan, tidur, dan reproduksi. Tidak ada belajar, tidak ada bekerja dan berkarya, tidak ada ibadah. Yang ada hanya jatah sebagai manusia saja, jatah untuk jadi hamba nanti sisa saja.
Harapannya dengan tulisan ini kita bisa sama-sama belajar untuk melihat siapa diri kita, bahwab kita bukan mahluk bumi, kita adalah mahluk langit yang sebentar lagi harus kembali. Lalu apa yang akan kita laporkan kalau kita tidak memiliki sesuatu yang dilaporkan. Kita akan malu, benar-benar malu dan merasa terhina saat nanti diberondong pertanyaan yang tidak bisa dijawab.
Ternyata tidak semua ruh kuat terhadap apa yang diberikan. Ada yang diberi rupa menawan, ia menjadi lupa siapa dirinya dan merasa lebih dari yang lain; ada yang diberi tubuh yang indah, ia tunjukan tubuhnya pada yang bukan haknya agar diperhatikan manusia; ada yang diberi mobil, rumah mewah, harta, dan jabatan ternyata semua itu membuat ia merasa kalau dia adalah mahluk bumi yang dengan semua itu ia akan dihormati, ia akan mulia, tampak wibawa, dan selamat; ada yang mencintai sesuatu secara berlebih, seperti dengan pasanganlah ia akan hidup bahagia tanpa ia dunia ini terasa runtuh atau demi membahagiakannya kita tinggalkan tugas sebagai hamba. Tidakkah kita bisa melihat pola hidup yang sesungguhnya bahwa semua ini hanya senda gurau belaka, hanya permainan, bukan masalah permainannya tapi bagaimana kita bermain. Mobil hanyalah seonggok kaleng besi, rumah hanyalah tumpukan bata dan semen, uang hanyalah kertas bergambar saja.
Karena tubuh, harta, makan, dan kebutuhan sex adalah konsekuensi dari keharusan hidup di dunia maka penuhilah hak-haknya sebagai manusia. Carilah harta karena itu sudah menjadi hak kita, makanlah karena itu wajib untuk bertahannya tubuh kita, carilah pasangan hidup karena itu bagian dari rangkaian ketetapan. Kita melakukan semuanya bukan sebagai mahluk bumi, tapi sebagai mahluk langit, sebagai tanda pengabdian. Lakukanlah yang terbaik, karena waktu kita hanya sebentar.
Memang semuanya perlu waktu untuk benar-benar paham, kemudian butuh waktu lagi untuk benar-benar sadar, kemudian benar-benar butuh waktu lagi untuk berani bertindak, dan butuh waktu lagi untuk benar-benar ikhlas. Terlihat lama memang, tapi kalau tidak dipaksakan untuk memulainya sekarang mencari tahu dan bertindak, hal itu akan jauh lebih lama lagi. Akan ada air mata yang jatuh, akan ada salah yang terjadi, akan ada keringat yang mengucur, dan sesal yang menyesakan tapi tenang saja, Tuhan tidak buta, Ia tahu kita sedang berusaha.
Kita bukanlah manusia yang mengalami kejadian-kejadian spiritual, kita adalah mahluk spiritual yang mengalami kejadian-kejadian manusia.
Wellcome
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar